SMKN 1 ROTA, Melahirkan Kenzo-Kenzo dari Bayat
HERU SRI KUMORO/KOMPAS IMAGESSiswa
SMKN 1 ROTA, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, praktik membuat keramik dengan
teknik putaran miring di sekolah, Kamis (17/12/2009).
Oleh: Sri Rejeki
"Buruh batik hanya tahu mendapat upah Rp 10.000. Padahal, dengan 'booming' batik, seharusnya mereka bisa dapat lebih dari itu."
-- Lily Kasoem/Ketua Yayasan Titian
KLATEN, KOMPAS.com — Serombongan
perempuan dan laki-laki mengenakan busana paduan dari kain batik dan
tenun tangan. Kain batik atau tenun dijadikan rok selutut atau semata
kaki, lalu dipadukan dengan selendang batik atau tenun yang digunakan
untuk menutup bahu dan disimpul membentuk pita di depan dada. Sungguh
unik dan etnik.
Mereka membawa kain batik panjang dengan motif
flora karya sendiri yang dibentangkan sambil berlenggak-lenggok di atas
panggung. Karya para pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1
ROTA yang terletak di Desa Beluk, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah, ini mengingatkan Lily Kasoem akan Kenzo—perancang busana
kenamaan asal Jepang—yang tinggal di Paris, Perancis, dan selalu
memasukkan ciri khas negaranya pada karya-karyanya.
Menurut
pemilik usaha Lily Kasoem Optical ini, anak-anak dari Bayat ini pun
bisa menjadi Kenzo-Kenzo di masa depan. Sarana untuk membantu anak-
anak dari pelosok Bayat meraih mimpinya ini telah disediakan berupa
sekolah yang representatif.
SMKN 1 ROTA, dilihat dari fisik
gedungnya, tidak kalah dari sekolah internasional yang ada di kota-kota
besar. Ruang kelas berkondisi nyaman dengan banyak jendela besar
membuat kelas terang dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Fasilitas
pun lengkap.
Sekolah yang membuka dua jurusan ini, yakni tekstil
dan keramik, menyediakan dua bengkel kerja. Di bengkel kerja keramik,
siswa dapat praktik membuat keramik dengan teknik putaran tegak maupun
miring yang menjadi ciri khas Bayat.
Profesor Chitaru Kawasaki,
yang bertahun-tahun meneliti teknik putaran miring Bayat karena hanya
satu-satunya di dunia ini, siap mendampingi siswa setelah didapuk
sebagai guru tamu. Teknik pewarnaan, dekorasi gerabah, dan pembakaran
dengan tungku tradisional juga dipelajari siswa di bengkel kerja ini.
Karya
siswa yang baru empat bulan belajar membuat gerabah sederhana tampak
dipajang di salah satu sudut bengkel kerja. Di bengkel kerja tekstil,
para siswa terlihat asyik membuat desain dan gambar. Ada pula yang
belajar membatik dengan canting dan malam serta mewarnai.
Mesin
jahit dan obras terpasang, menunggu giliran untuk mengantar para siswa
belajar memodifikasi kain karya mereka menjadi busana. Contoh karya
berupa kain panjang (jarik) dan selendang batik serta contoh busana
terpajang di beberapa sudut ruangan. Karya terbaik dipamerkan di galeri
komersial.
Bukan tanpa sebab jika SMKN 1 ROTA membuka dua jurusan
yang unik ini. Jurusan keramik bahkan satu-satunya di Kabupaten Klaten.
Potensi Bayat sebagai pusat perajin batik tulis dan gerabah meyakinkan
pihak donor untuk membuka dua jurusan yang sesuai dengan potensi lokal.
"Di
Bayat sudah banyak buruh batik dan keramik. Kita tak perlu lagi
menambah jumlah mereka. Anak-anak yang bersekolah di SMKN 1 ROTA ini
yang nanti akan menggunakan sumber daya manusia yang ada untuk
keuntungan masyarakat karena akan memotong jalur tengah atau makelar.
Buruh batik hanya tahu mendapat upah Rp 10.000. Padahal, dengan
booming batik,
seharusnya mereka bisa dapat lebih dari itu," kata Lily, yang juga
Ketua Yayasan Titian yang menjadi mitra Reach Out to Asia (ROTA) di
Indonesia.
ROTA adalah salah satu divisi dari Qatar Foundation
yang dimiliki keluarga Kerajaan Qatar yang khusus mengurusi program di
Asia. ROTA akan menggelontorkan 3 juta dolar Amerika Serikat atau
kurang lebih Rp 28,5 miliar untuk pembangunan gedung sekolah dan
fasilitasnya, mendatangkan guru-guru tamu, serta pengembangan kurikulum
hingga tiga tahun ke depan. Setelah itu diharapkan SMKN 1 ROTA dapat
mandiri lepas landas mencapai cita-citanya memajukan pendidikan dan
kehidupan anak-anak di pelosok Bayat.
Selain memberi bekal
keterampilan, siswa-siswi SMKN 1 ROTA dibekali pengetahuan
kewirausahaan, bahasa Inggris, dan teknologi informasi agar tidak hanya
menjadi jago kandang, melainkan mampu pula bersaing di pasar global.
Oleh karena itu, laboratorium bahasa dan komputer dengan fasilitas
sangat memadai serta perpustakaan dengan 1.500 judul buku dan koleksi
audio visual siap mengantarkan para siswa agar tidak ”kuper” menghadapi
pergaulan global.
Dengan berbagai program penunjang ini, siswa
diharapkan kelak mampu menghasilkan karya seni batik dan keramik yang
artistik dan bernilai ekonomis tinggi. Mereka diharapkan menjadi
pencipta, bukan sekadar menjadi tukang. Para siswa pun dengan lugas
mengatakan bercita-cita menjadi wirausaha, seperti Indriani Asta (15)
yang ingin menjadi pengusaha batik.
Gubernur Jawa Tengah Bibit
Waluyo, yang menghadiri peresmian sekolah ini akhir Desember 2009 lalu
berharap, pihak lain melalui program
corporate social responsibility (CSR)-nya
dapat berlomba melakukan hal serupa untuk memajukan pendidikan
anak-anak, khususnya di Jawa Tengah. Pembangunan SMKN 1 ROTA disebutnya
contoh bagus kerja sama Pemerintah Kabupaten Klaten, yang menyediakan
lahan hampir 3 hektar, dengan ROTA dan Titian.
Direktur ROTA Omnia Nour berharap, SMKN 1 ROTA tidak hanya menjadi sekolah biasa, melainkan pusat unggulan (
center of excellence)
batik dan keramik dengan dukungan fasilitas yang lengkap dan guru-guru
yang kompeten. Pembangunan SMKN 1 ROTA sekaligus ingin menunjukkan
bahwa pendidikan adalah hak untuk semua. Anak desa pun tidak kalah dari
anak kota jika memiliki akses pendidikan yang sama.