Minggu, 25 Maret 2012

SUKU BUGIS DAN ADAT ISTIADAT


Suku Bugis & Adat Istiadat



SUKU BUGIS DAN ADAT ISTIADAT
Suku Bugis adalah salah satu suku yang berdomisili di Sulawesi Selatan. Ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga bisa dikategorikan sebagai orang Bugis. Diperkirakan populasi orang Bugis mencapai angka enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara seperti di Malaysia, India, dan Australia.
Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi.
Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang Selatan’. Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’ ketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.
Adat panen:
Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.
Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.
Tapi itu dulu. Ketika tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan. Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus produksi ekonomi nasional.
Sekadar mengingat kembali lebih dari 30 tahunan yang silam, pemerintah melancarkan program intensifikasi pertanian di desa-desa, yang dikenal dengan revolusi hijau dalam pembangunan pertanian. Program itu, di awal tahun 1970-an, populer dengan nama Bimas Padi Sawah. Nyaris tak ada satu jengkal pun lahan pertanian yang terhindar dari proyek berorientasi swasembada dan bisnis pertanian ini. Segala cara dilakukan para penyuluh dan pegawai Bimas, melalui ancaman maupun paksaan, agar para petani menjalankan program bimas. Kelompok-kelompok petani dibentuk. Modernisasi sistem pertanian dilancarkan. Hingga pengenalan varietas baru yang disebut-sebut sebagai ‘bibit unggul’ itu wajib ditanam.
Sejak saat itu pare riolo yang biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan varietas ‘unggul’ padi sawah. Seperti padi Shinta, Dara, Remaja, yang merupakan produk persilangan yang dikeluarkan Lembaga Pusat Pertanian (LP-3) Bogor. Atau varietas unggul baru macam IR-5 dan IR-8 yang dikenal dengan PB-5 dan PB-8 yang hasil rekayasa Rice Researce Institute (IRRI). Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau.
Seiring dengan modernisasi sistem pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada lagi katto bokko. Tidak pula kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan itu tiada lagi penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam tidak berurusan dengan anugerah Sangiyang Sri seperti yang diyakini selama ini. Tapi soal bagaimana produk pertanian dapat mengejar target produksi nasional yang diharapkan para penyuluh pertanian.
Mapadendang itu tradisi menumbuk padi. Dulu merontokkan padi itu dengan menumbuk. Sekarang sudah pakai mesin giling. Makanya mapadendang pun semakin jarang dilakukan. Padahal dalam ritual itulah rasa kebersamaan para petani muncul. Bahkan mappadendang menjadi tempat pertemuan muda-mudi yang ingin mencari pasangan hidup. Dalam ritual itu setiap pasangan mulai saling mengenal calon pasangannya, memperhatikan sikap dan tingkah lakunya.
Kini penghargaan terhadap padi sebagai sumber kehidupan sudah pudar. Orang-orang sekarang hanya berpikir bagaimana bibit itu bisa cepat tumbuh dan cepat panen. Meski demikian, tidak berarti program pembangunan pertanian masa pemerintahan Suharto yang berhasil mengubah kultur masyarakat pedesaan ini tanpa menuai reaksi dan protes. Di Sidrap, misalnya. Puluhan petani enggan beralih bibit padi baru. Di Kindang yang masuk wilayah Bulukumba, seorang petani bernama Karaeng Haji menantang seorang penyuluh pertanian yang mendatanginya. Cerita yang dituturkan Massewali ini justeru membuktikan hasil panen Karaeng Haji jauh lebih besar ketimbang hasil panen yang dijanjikan para penyuluh pertanian dari Bimas. Di banyak tempat di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah-daerah pertanian, kasus-kasus serupa tak sedikit jumlahnya.
Alasannya pun bermacam-macam. Dikatakan, misalnya varietas bibit baru unggulan itu kenyataannya cuma unggul sekali panen atau paling banter dua kali panen. Adapun untuk masa tanam berikutnya mereka harus mengganti bibit dengan cara membeli bibit baru melalui unit koperasi yang masih dijalankan secara ‘top-dawn’ pula. Tentu saja ini menyulitkan para petani yang harus bergonta-ganti bibit baru setiap musim tanam.
Respon yang lain juga diperlihatkan oleh komunitas Pakalu. Seperti dituturkan Mustari dan Halima, mereka menerima varietas bibit baru untuk sebagian persawahan mereka. Di pihak lain mereka juga tidak meninggalkan varietas padi lama yang lebih terbukti hasilnya. Dengan cara itu selain memperoleh hasil produksi yang melimpah, mereka pun masih bisa menjalani mappadendang. Ritual yang menjadi bagian dari penghayatan hidup mereka sehari-hari.
Di Kabupaten Sidrap dewasa ini, tradisi mappadendang digelar dengan acara makan bersama di balai desa yang dihadiri oleh tetua-tetua, pemuka adat, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan semua petani-petani. Acara ini dimaksudkan untuk mensyukuri hasil panen mereka. Mereka mensyukuri rejeki yang dilimpahkan oleh Allah SWT kepada mereka.
Adat pernikahan:
Pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan pesta perkawinan merupakan hal yang membahagiakan bagi semua orang terutama bagi keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Di Sulawesi Selatan terdapat banyak adat perkawinan sesuai dengan suku dan kepercayaan masyarakat. Bagi orang Bugis-Makassar, pernikahan/perkawinan diawali dengan proses melamar atau “Assuro” (Makassar) dan “Madduta” (Bugis). Jika lamaran diterima, dilanjutkan dengan proses membawa uang lamaran dari pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta perkawinan oleh pihak wanita ini disebut dengan “Mappenre dui” (bugis) atau “Appanai leko caddi” (Makassar). Pada saat mengantar uang lamaran kemudian ditetapkan hari baik untuk acara pesta perkawinan yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Sehari sebelum hari “H” berlangsung acara “malam pacar” mappaci (bugis) atau “akkorontigi” (Makassar), calon pengantin baik pria maupun wanita (biasanya sdh mengenakan pakaian adat daerah masing-masing) duduk bersila menunggu keluarga atau kerabat lainnya datang mengoleskan daun pacar ke tangan mereka sambil diiringi do’a-do’a untuk kebahagiaan mereka. Keesokan harinya (Hari “H”), para kerabat datang untuk membantu mempersiapkan acara pesta mulai dari lokasi, dekoasi, konsumsi, transportasi dan hal-hal lainnya demi kelancaran acara. Pengantin pria diberangkatkan dari rumahnya (Mappenre Botting = Bugis / Appanai leko lompo = Makassar) diiringi oleh kerabat dalam pakaian pengantin lengkap dengan barang seserahan ‘erang-erang’ menuju rumah mempelai wanita. Setibanya di rumah mempelai wanita, pernikahanpun dilangsungkan, mempelai pria mengucapkan ijab kabul dihadapan penghulu disaksikan oleh keluarga dan kerabat lainnya. Setelah proses pernikahan selesai, para pengantar dipersilakan menikmati hidangan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya, para pengantar pulang dan mempelai pria tetap di rumah mempelai wanita untuk menerima tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan selamat dan menyaksikan acara pesta perkawinan. Pada acara pesta perkawinan biasanya meriah karena diiringan oleh hiburan organ tunggal atau kesenian daerah lainnya. Keesokan harinya, sepasang pengantin selanjutnya diantar ke rumah mempelai pria dengan iring-iringan yang tak kalah meriahnya. Selanjutnya, rumah mempelai pria berlangsung acara yang sama, bahasa Bugis disebut ‘mapparola’.

Sabtu, 24 Maret 2012


Hutan Mangrove Tarakan

Kawasan konservasi hutan mangrove Tarakan masih memerlukan perhatian agar lebih memberi manfaat ke masyarakat.
Keberadaan hutan mangrove di Kota Tarakan memang tak disangsikan. Terasa sangat indah, nyaman dan asri. Bahkan, hutan kota seluas 9 hektar yang masih akan diperluas menjadi 13 hektar itu sudah menjadi icon Tarakan di mata pelancong mancanegara. Pasalnya, di kawasan ini terdapat sedikitnya 11 spesies satwa dilindungi, terutama kera berekor panjang atau Bekantan yang populasinya sekitar 30 ekor.
Tapi, keindahan dan keasrian hutan kota ini masih menuntut perhatian. Bukan hanya menjadi kawasan hijau yang terus disubsidi, melainkan mendapat nilai tambah tersendiri. Artinya, bagaimana kawasan bisa memberi manfaat ganda. Tak hanya menjadi asset berharga Pemkot, tapi lebih memberi manfaat ke masyarakat sesuai fungsinya sebagai kawasan konservasi, hutan penelitian dan pendidikan.
Benarkah kawasan ini tak memberi manfaat ganda? Bisa benar, dan bisa pula tidak. Tapi, kalau memang kawasan mangrove ini dijadikan sebagai hutan penelitian dan pendidikan, mungkin sudah saatnya dibangun perpustakan dan laboratorium di sana. Biaya pembangunan, pengadaan buku buku dan peralatan lab mungkin relatif besar, tapi manfaatnya jauh lebih besar untuk mencerdaskan masyarakat.
Bekantan di Hutan Mangrove Tarakan Borneo - Ardiz
Bekantan di Hutan Mangrove Tarakan
Bekantan di Hutan Mangrove Tarakan
Bekantan di Hutan Mangrove Tarakan
Bekantan di Hutan Mangrove Tarakan

Nama Pakaian Adat Dayak Laki-laki dan Wanita

Mungkin sebagian dari kita sering melihat pakaian dayak yang dipakai oleh orang dayak ataupun yang dipakai pada saat pameran atau pesta budaya, namun tidak banyak dari kita yang tau nama pakaian adat yang dikenakan oleh laki-laki dan wanita dayak. Corak khas suku dayak yang terbentuk dari susunan manik-manik beraneka warna tampak kontras menghiasi kain hitam, yang diapakai sebagai bahan dasar pakaian adat dayak. Sehingga menunjukkan makna suku dayak yang memanfaatkan alam dengan arif di kehidupan sehari-hari.
Pakaian adat untuk wanita di namakan Ta a dan Pakaian Adat untuk Laki-laki dinamakansapei sapaq. Biasanya pakaian adat itu mereka kenakan saat acara besar dan menyambut tamu agung.
Ta a terdiri dari da a, yaitu semacam ikat kepala yang terbuat dari pandan biasanya diapakai untuk orang tua. Atasan atau baju dinamakan sapei inoq dan bawahannya atau rok disebut ta a. Atasan dan bawahan ini semuanya dihiasi dengan manik-manik. Wanita yang memakai ta a ini biasanya melengkapi dengan uleng atau hiasan kalung manik yang untaiannya sampai bawah dada.
Sedangakan Sapei sapaq yang dikenakan laki-laki pada umumnya hampir sama dengan motif pakaian adat perempuan. Namun Sapei sapaq atasannya dibuat berbentuk rompi, dan bawahannya adalah cawat yang disebut abet kaboq. Biasanya para pria melengkapi sapei sapaq dengan mandau yang terikat dipinggang.
Sam Ien, adalah salah satu pengrajin pakaian adat dayak kenyah di Ritan Baru mengatakan motif tumbuh-tumbuhan khas dayak kenyah di pakaian adat itu juga dipadukan dengan gambar hewan misalnya harimau dan burung enggang.
pakaian adat dayak
“Jika di pakaian adat itu ada gambar enggang atau harimau, berarti yang memakainya keturunan bangsawan. Kalau hanya motif tumbuhan saja berarti orang biasa” .
Pakaian Adat Jawa Barat

Pakaian Adat Jawa Barat

Baju Adat Jawa Gambar Busana Adat Jawa Barat Tengah Timur – Buat Anda yang ingin mengetahui kebudayaan jawa melalui baju daerahnya seperti busana adat Jawa Tengah, baju adat Jawa Timur, pakaian adat Jawa Barat, nama pakaian adat Betawi atau DKI Jakarta serta busana pakaian tradisional dari Yogyakarta dan Banten, Anda bisa lihat gambar pakaian adat tradisional yang ada di pulau jawa yang ada dalam postingan di sini.
Pakaian Adat Jawa Barat – Baju Adat Jawa Gambar Busana Adat Jawa Barat Tengah Timur – Welcome to my Personal Blog by isomwebs There are many topics about Indonesia like indonesia tourism, tourist attractions, art dan culture of indonesia, cheap hotels, indonesian news and entertainment, top celebrities, automotive, education, healthy, etc. All topics on here such as Baju Adat Jawa Gambar Busana Adat Jawa Barat Tengah Timur just for personal notes by blog author and this topic is about Baju Adat Jawa Gambar Busana Adat Jawa Barat Tengah Timur, to get any more information for this related topics of Pakaian Adat Jawa Barat – Baju Adat Jawa Gambar Busana Adat Jawa Barat Tengah Timur you can do a search in the category at contoh surat, This topic is about Baju Adat Jawa Gambar Busana Adat Jawa Barat Tengah Timur by isomwebs.com
Baju Adat Jawa Barat dan Busana Adat Tradisional Daerah Jawa Barat
Pakaian Adat Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia dan ber-ibukota di Kota Bandung. Kalau melihat budaya jawa barat melalui Pakaian Tradisional yang ada di provinsi ini, pakaian tradisional daerah Jawa Barat memiliki beragam busana dan di golongkan menjadi pakaian rakyat biasa, Pakaian Kaum Menengah, Pakaian Bangsawan/Menak, Pakaian Mojang dan Jajaka serta pakaian pengantin.

Daging babi adalah daging yang sangat sulit dicerna karena banyak mengandung lemak. Meskipun empuk dan terlihat begitu enak dan lezat, namun daging babi sulit dicerna. Ibaratnya racun, seperti halnya kholesterol. analisis kimia dari babi dan darah babi menunjukkan adanya kandungan yang tinggi dari uric acid (asam urat ), suatu senyawa kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia, bersifat racun. Dengan kata lain uric acid sampah dalam darah yang terbentuk akibat metabolisme tubuh yang tidak sempurna yang diakibatkan oleh kandungan purine dalam makanan.Dalam tubuh manusia, senyawa ini dikeluarkan sebagai kotoran, dan 98% dari uric acid dalam tubuh, dikeluarkan dari dalam darah oleh ginjal,dan dibuang keluar tubuh melalui air seni.
Penyakit lain yang ditularkan oleh daging babi banyak sekali, di antaranya:
1. Kolera babi. Yaitu penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus
2. Keguguran nanah, yang disebabkan oleh bakteri prosillia babi.
3. Kulit kemerahan, yang ganas dan menahun. Yang pertama bisa menyebabkan kematian dalam beberapa kasus, dan yang kedua menyebabkan gangguan persendian.
4. Penyakit pengelupasan kulit.
5. Benalu eskares, yang berbahaya bagi manusia.
Mengapa Babi Diharamkan?
Jika kita melihat babi dari segi ilmiah atau kesehatan banyak cara yang dapat dilakkukan agar kandungan atau bakteri yang terkandung dalam tubuhnya tidak menimbulkan penyakit. Demikian pula secara pisik, tidak ada bedanya antara ayam yang disembelih dengan mengucapkan basmalah dengan yang disembelih dengan menyebut nama tuhan selain Allah. Secara fisik, keduanya bersih, suci, tidak kotor, bahkan tidak ada racun apapun. Apabila di pandang dari sudut syariat, hukum keduanya berbeda. Yang satu halal karena disembelih dengan basmalah, sedangkan yang satunya haram, karena disembelih dengan menyebut nama tuhan selain Allah.
Kalau agama yang kita jalani ini harus selalu dikembalikan kepada alasan-alasan yang bersifat kebendaan, ilmiyah atau aspek fisik semata, maka bubarlah agama ini. Padahal landasan agama itu adalah iman, yang berarti percaya kepada Allah SWT. Kalau Allah bilang merah, maka kita ikut bilang merah. Sebaliknya, kalau Allah bilang hitam, maka kita pun bilang hitam. Kita tidak akan memilih merah atau hitam, kecuali karena Allah yang menetapkan.
Oleh karena itu penetapan babi sebagai makanan yang diharamkan bagi umat muslim bukan semata-mata karena ditinjau dari segi ilmiahnya akan tetapi, Allah SWT  sudah menetapkan dalam firmannya, QS: Al Maidah ayat 3 yang berbuyi:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya…
Nabi SAW juga sudah memperingatkan bahwa tiap-tiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka adalah tempat yang pantas baginya.

Sate Madura

Toko Madura Online menyediakan kebutuhan makanan, produk, souvenir lain yang unik dari madura. 
Toko Madura Online Juga menerima pesanan anda dan kami siap menyediakannya untuk anda.
sate-ayam-135x100 Sate MaduraSate Ayam adalah makanan khas Indonesia khususnya Pulau Madura. Sate Ayam dibuat dari daging Ayam. Pada umumnya sate ayam dimasak dengan cara dipanggang atau dibakar diatas bara arang. Dan disajikan selagi hangat dengan pilihan bumbu kacang atau bumbu kecap. Sate ini biasanya disajikan bersama dengan lontong atau nasi.
Bahan:
  • 250 g fillet ayam, potong dadu, tusuk dengan tusukan sate
  • 1 buah jeruk nipis, iris
  • 3 butir bawang merah, iris tipis
  • 5 sdm kecap manis
  • nasi putih atau lontong secukupnya
Bumbu Kacang:
  • 3 butir bawang merah
  • 4 butir bawang putih
  • 100 g kacang tanah, goreng
  • 2 butir kemiri
  • garam secukupnya
  • 150 ml air kaldu
  • 2 sdm minyak goreng
Sambal Bawang:
  • 4 siung bawang putih
  • 10 buah cabe merah kecil
  • garam secukupnya
  • minyak goreng secukupnya
Cara Membuat:
  1. Bumbu Kacang: campur bawang putih, bawang merah, kacang tanah, garam, dan kemiri, haluskan. Panaskan minyak, tumis hingga harum, masukkan air kaldu, masak hingga mengental. Angkat.
  2. Campurkan 2 sdm bumbu kacang dengan 2 sdm kecap manis, celupkan sate, bakar hingga setengah matang. Angkat dan gulingkan kembali dalam bumbu, bakar hingga matang, angkat.
  3. Sambal bawang: panaskan minyak, tumis bawang putih hingga setengah matang, angkat. Campur bawang putih, cabe merah kecil, dan garam, haluskan.
  4. Sajikan sate ayam dengan bumbu kacang, kecap manis, bawang merah, sambal bawang, jeruk nipis, dan nasi putih atau lontong.

AIR TERJUN SRI GETHUK
Gemuruh Suara Air Pemecah Hening di Tanah Kering

Eksotisme Grand Canyon di daerah utara Arizona, Amerika Serikat tentunya tak bisa disangkal lagi. Grand Canyon merupakan bentukan alam berupa jurang dan tebing terjal yang dihiasi oleh aliran Sungai Colorado. Nama Grand Canyon kemudian diplesetkan menjadi Green Canyon untuk menyebut obyek wisata di Jawa Barat yang hampir serupa, yakni aliran sungai yang membelah tebing-tebing tinggi. Gunungkidul sebagai daerah yang sering diasumsikan sebagai wilayah kering dan tandus ternyata juga menyimpan keindahan serupa, yakni hijaunya aliran sungai yang membelah ngarai dengan air terjun indah yang tak pernah berhenti mengalir di setiap musim. Air terjun tersebut dikenal dengan nama Air Terjun Sri Gethuk.
Terletak di Desa Wisata Bleberan, Air Terjun Sri Gethuk menjadi salah satu spot wisata yang sayang untuk dilewatkan. Untuk mencapai tempat ini Anda harus naik kendaraan melewati areal hutan kayu putih milik PERHUTANI dengan kondisi jalan yang bervariasi mulai dari aspal bagus hingga jalan makadam. Memasuki Dusun Menggoran, tanaman kayu putih berganti dengan ladang jati yang rapat. Sesampainya di areal pemancingan yang juga berfungsi sebagai tempat parkir, terdapat dua pilihan jalan untuk mencapai air terjun. Pilihan pertama yakni menyusuri jalan setapak dengan pemandangan sawah nan hijau berhiaskan nyiur kelapa, sedangkan pilihan kedua adalah naik melawan arus Sungai Oya. Tentu saja YogYES memilih untuk naik rakit sederhana yang terbuat dari drum bekas dan papan.



Aliran air terjun Sri Gethuk
Pengalaman yang tak mungkin aku lupakan sepanjang hidupku, yakni bisa mengelilingi pantai Yogyakarta, mulai dari pantai ujung timur Yogyakarta (Pantai Sadeng) sampai Pantai Parangtritis. Namun sebelum aku cerita tentang pantai-pantai yang telah aku susuri tak ada salahnya kalau aku cerita tentang lokasi sebelum sampai pantai paling timur DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) itu. Ya, perjalanan aku mulai dari bangun tidur dari tempat kawanku yang bernama Kiki Pea. Dia seorang temanku yang ‘rock n roll’ abis, deh. Dia juga seorang jurnalis salah satu media lokal di Yogyakarta. Aku bangun pagi dan bersiap untuk cabut dari kos dia. Aku meboncengi dia, karna dia mau langsung ketempat kerja, dan motornya Kiki ada di tempat kerjanya. Setelah kita siap-siap untuk cabut, aku dan temanku mengisi perut yang sudah lapar. Nah, kami mampir di sebuah warung pingir jalan yang menyediakan menu utama lotek. Warung makan ini berada di jalan Tukangan, Yogyakarta, dan tak jauh dari penginapan-penginapan murah di Yogyakarta yang berada di Jalan Gayam. Tak jauh dari Malioboro dan Stasiun Lempuyangan. Dengan harga Rp 6.000 plus es teh segelas, sudah bisa mengenyangkan perut kami.

Lotek
Seusai sarapan, aku mengantar temanku ketempat kerjanya yang jaraknya tak begitu jauh. Akupun tancap gas. Sampailah kami di depan kantor redaksi tempat Kiki bekerja. Setelah itu aku langsung saja menuju tempat yang ingin aku kunjungi pertama kali, yakni ke Air Terjun Sri Gethuk yang berada di Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Perjalanan ini diawali dengan menyusuri jalan-jalan Kota Yogyakarta yang waktu itu cuacanya sangat mendukung dan cerah, membuat perjalanan menjadi menyenangkan, meskipun tidak ada teman yang bareng sama aku waktu itu. Sampailah di JalanWonosari, di mana jalan ini yang akan membawaku ketempat air terjun Sri Gethuk yang saat ini sangat terkenal di kalangan para pecintatraveling atau para backpacker. Namun ketika sampai di pertigaan Gading, akupun melihat plang(tulisan penunjuk arah) bergambar tanda panah yang menunjukkan arah lurus untuk menuju Wonosari, tanda panah kekanan untuk menuju Wisata Alam Air Terjun Sri Gethuk dan Goa Rancang Kencono. Aku langsung menuju kearah kanan yang menjadi tempat tujuan pertamaku.

Penunjuk jalan di pertigaan Gading
Setelah berjalan kurang lebih 10 km dari pertigaan Gading, sampailah di pintu masuk menuju air terjun yang dikelola oleh masyarakat sekitar. Namun jalan untuk menuju tempat wisata air terjun itu tak semulus yang ada di pikiranku. Jalan menuju tempat air terjun itu bervariasi. Mulai dari jalan raya yang halus sampai bebatuan yang tak teratur. Selain itu akses untuk menuju tempat wisata Air Terjun Sri Gethuk sangat kurang memadai, jalan juga tak begitu bagus menurut penjaga parkir di sana, alat transportasi umum untuk menuju tempat wisata air terjun tak ada. Andai saja pemerintah mengerti dan menyadari bahwa pendapatan terbanyak sebuah kota itu salah satunya adalah dari sektor pariwisata selain dari pajak daerah.
Sudahlah, akhirnya sampai juga di tempat yang aku ingin kunjungi sejak lama itu. Motorpun berhenti sejenak di tempat loket pintu masuk untuk membeli tiket. Dengan harga tiket yang cuma Rp 2.000/orang dan biaya parkir motor sebesar Rp.1.000, sampailah aku di salah satu obyek wisata air terjun yang ada di Yogyakarta ini. Eits… tapi setelah aku turun dari tempat parkir ternyata air terjunnya belum kelihatan dan akupun harus turun kebawah untuk menaiki perahu yang bisa membawa aku menuju air terjun itu. Saat menaiki perahu itu kita akan dikenakan biaya sebesar Rp 5.000 per orang. Dari atas perahu kita disuguhi tebing-tebing yang tinggi tepat di sebelah kiri dan kanan kita. Sungguh memukau, dalam bayangan serasa lagi di luar negeri ketika menaiki perahu yang bertenaga diesel tersebut. Aku jadi teringat foto-foto seorang temanku yang pernah berkunjung ke Green Canyon, Amerika. Perjalanan dengan mengunakan perahu tersebut kurang dari 10 menit. Sampailah aku di air terjun yang sejak tadi kuceritakan. Air terjun ini memiliki lima cabang, tiap-tiap cabang air yang turun kebawah mempunyai debit air berbeda-beda.

Tarif masuk Kawasan Wisata Air Terjun Sri Gethuk

Perahu diesel menuju Sri Gethuk

Keindahan sungai Oyo yang diampit tebing
Ketika sampai di tempat air terjun itu hari sudah sore, namun pengunjungnya lumayan banyak juga. Sekitar jam tiga sore aku sampai di air terjun Sri Gethuk. Kenapa disebut air terjun Sri Gethuk?

Aku di air terjun Sri Gethuk


Dua di antara lima air terjun Sri Gethuk
Dinamai Air Terjun Sri Getuk atau Sri Ketuk karena menurut kepercayaan masyarakat setempat pada masa lalu, sering terdengar suara gamelan yang diyakini milik Raja Jin Slempret bernama Angga Mendura. Konon, keberadaan air terjun ini merupakan lokasi pasar  jin. Di malam-malam tertentu, masyarakat sering mendengar bunyi-bunyian seperti slempret (terompet) dari arah air terjun itu. Tapi jika asal suara itu didekati, suara tersebut akan menghilang. Makanya masyarakat menyebutnya Air Terjun Slempret.
Waktunya menikmati air seusai foto-foto di tempat yang baru pertama kalinya aku kunjungi itu. Berenang di sungai dan menikmati air yang jatuh dari ketinggian sangat mengasikkan dan bikin puas. Setelah jauh-jauh menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan, senang rasanya ketika aku menikmati sejuknya air terjun dan indahnya tebing-tebing yang menghimpit kali Oyo. Membuat waktu tidak terasa, sudah menunjukan pukul 17.25. Akupun bersiap-siap untuk naik keperahu menuju tempat parkir sepeda motor, dan melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Masih banyak cerita di setiap tempat yang aku kunjungi tersebut. Jadi tunggu saja cerita selanjutnya, cerita tentang menyusuri pantai paling timur Yogyakarta, yakni Pantai Sadeng, Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul. Di sana ada kisah-kisah para nelayan, bapak-bapak yang membenahi perahunya, pemancing, sampai kisah tentang tebing-tebingnya yang sangat indah serta Samudera yang Luas.